Yuk renungkan lagi ayat Al-Qur’an hari ini ….
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Dalam ayat ini berisi perintah untuk taat pada Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri kita.
Apa yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas?
Ulil amri dalam ayat di atas ada empat tafsiran dari para ulama, yaitu ada ulama yang berpendapat bahwa mereka adalah penguasa. Ada juga pendapat lainnya yang menyatakan bahwa ulil amri adalah para ulama. Dua pendapat lainnya menyatakan bahwa ulil amri adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga ada yang menyebut secara spesifik bahwa ulil amri adalah Abu Bakr dan Umar sebagaimana pendapat dari ‘Ikrimah.
Kalau yang dimaksudkan ulil amri adalah penguasa, maka perintah mereka memang wajib ditaati selama bukan dalam perkara maksiat. Dalam hadits disebutkan,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Patuh dan taat pada pemimpin tetap ada selama bukan dalam maksiat. Jika diperintah dalam maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan.” (HR. Bukhari, no. 2955)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul dengan menjalankan perintah keduanya baik yang wajib maupun sunnah serta menjauhi setiap larangannya. Juga dalam ayat disebutkan perintah untuk taat pada ulil amri. Yang dimaksud ulil amri di sini adalah yang mengatur urusan umat. Ulil amri di sini adalah penguasa, penegak hukum dan pemberi fatwa (para ulama). Urusan agama dan urusan dunia dari setiap orang bisa berjalan lancar dengan menaati mereka-mereka tadi. Ketaatan pada mereka adalah sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan bentuk mengharap pahala di sisi-Nya. Namun dengan catatan ketaatan tersebut bukanlah dalam perkara maksiat pada Allah. Kalau mereka memerintah pada maksiat, maka tidaklah ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat pada Allah.
Diutarakan pula oleh Syaikh As-Sa’di bahwa ketaatan pada Allah diikutkan dengan ketaatan pada Rasul dengan mengulang bentuk fi’il (kata kerja) athi’u (taatlah). Rahasianya adalah bahwa ketaatan pada Rasul sama dengan bentuk ketaatan pada Allah. Maksudnya, kalau kita mengikuti dan taat pada Rasul berarti kita telah taat pada Allah. Sedangkan ketaatan pada ulil amri disyaratkan selama bukan dalam maksiat. Itulah rahasianya. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 183-184)
Hanya Allah yang memberi taufik untuk meraihnya
—
Disusun @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 10 Ramadhan 1437 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam